Politik dan Strategi Nasional
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
RUU Pilkada saat ini tengah dibahas
Panitia Kerja DPR. Mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi salah satu isu
yang mendapat sorotan. Sebelum Pilpres 2014, tak ada parpol yang ingin jika
kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Namun, kini semua parpol Koalisi
Merah Putih, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai
Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional, ditambah Partai Demokrat,
berubah sikap dan menginginkan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Berbagai pihak menolak usulan koalisi
Merah Putih. Para bupati dan wali kota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah
Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh
Indonesia (Apeksi) menolak tegas pilkada oleh DPRD.
RUU
Pilkada yang saat ini sedang dibahas
DPR di Senayan menuai pro dan kontra. Ada dua kubu yang bersebrangan yakni di
satu pihak menghendaki pemilihan kepala Daerah dilakukan oleh DPRD sedangkan di
pihak lain tetap mendukung dipilih langsung oleh rakyat. Sampai saat ini
polemik ini masih memanas dan dipublikasikan secara masih di semua media
mainstream nasional.
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan
wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali
diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam
rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama
yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta
2007.
Pada tahun 2011, terbit undang-undang
baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Sejak saat itulah hampir di semua wilayah di
tanah air diadakan pemilihan kepala daerah secara langsung.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini dapat
dirumuskan permasalahan dalam pertanyaan “Apa sebenarnya RUU Pilkada di
Indonesia itu?”
Dari rumusan permasalahan tersebut,
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal:
a. Pengertian
dari RUU Pilkada
b. Sistem
RUU Pilkada
c. Pro
dan kontra RUU Pilkada di Indonesia
d. Tujuan
dari RUU Pilkada
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui
pengertian dari RUU Pilkada.
b. Untuk
mengetahui bagaimana Sistem RUU Pilkada
c. Untuk lebih
mengetahui bagaimana UU Pilkada di Indonesia.
d. Untuk lebih
tujuan dari pembentukan RUU Pilkada.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian RUU Pilkada
§
RUU ini disiapkan oleh
Kementerian Dalam Negeri sejak 2010 dan mengandung dua ketentuan baru yaitu:
§
Pilkada hanya memilih
gubernur dan bupati/walikota
§
Wakil gubernur dan
wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS
§
gubernur tidak lagi
dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi
Rancangan
Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sudah sejak 2010
disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sesuai kesepakatan antara
Komisi II DPR dengan Kemendagari, RUU Pilkada akan diselesaikan sebelum
penyelenggaraan Pemilu 2014. Dengan demikian pilkada pasca-Pemilu 2014 sudah
menggunakan undang-undang baru.
Naskah akademik RUU Pilkada menyebutkan tiga tujuan: pertama, memberikan arahan dalam penyusunan norma-norma pengaturan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah; kedua, menyelaraskan pengaturan norma dalam undang-undang sesuai dengan norma akademis, teoritis dan yuridis; ketiga, memberikan penjelasan mengenai kerangka pikir dan tujuan norma-norma pengaturan dalam undang-undang tentang pemilihan gubernur dan bupati/walikota.
RUU Pilkada terdiri atas 7 bab dan 181. Dalam RUU ini terdapat dua ketentuan baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004: pertama, pilkada hanya memimilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS; kedua, gubernur dipilih tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, meliankan oleh DPRD provinsi.
Naskah akademik RUU Pilkada menyebutkan tiga tujuan: pertama, memberikan arahan dalam penyusunan norma-norma pengaturan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah; kedua, menyelaraskan pengaturan norma dalam undang-undang sesuai dengan norma akademis, teoritis dan yuridis; ketiga, memberikan penjelasan mengenai kerangka pikir dan tujuan norma-norma pengaturan dalam undang-undang tentang pemilihan gubernur dan bupati/walikota.
RUU Pilkada terdiri atas 7 bab dan 181. Dalam RUU ini terdapat dua ketentuan baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004: pertama, pilkada hanya memimilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS; kedua, gubernur dipilih tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, meliankan oleh DPRD provinsi.
B. Sistem RUU Pilkada
UUD
Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung
berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang,
banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak
harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau
terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling
melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang
juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik
yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.
C. Pro dan Kontra RUU Pilkada
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dinilai sebagai
bentuk pengkhianatan partai terhadap masyarakat. Masyarakat menganggap hak
politik mereka untuk memilih pasangan calon pilihannya dicabut apabila kepala
daerah dipilih DPRD.
Hal itu terungkap di dalam survei yang dilakukan
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 5-7 September 2014. Quick poll ini
menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden di 33
provinsi di Indonesia dan margin of error 2,9 persen.
Peneliti LSI Adjie Alfaraby menyebutkan, sebanyak
81,25 persen responden memilih agar pemilihan kepala daerah secara langsung
yang telah berjalan selama 9 tahun terakhir ini tetap dipertahankan. Penolakan
pemilihan kepala daerah oleh DPRD terutama terjadi di masyarakat di kota besar.
"Mereka yang tinggal di kota, berpendidikan
tinggi, dan berstatus ekonomi menengah-atas lebih tinggi penolakannya dibanding
mereka yang tinggal di desa dan wong cilik,” kata Adjie saat memaparkan hasil
survei di Kantor LSI, Jakarta Timur, Selasa (9/9/2014).
Menurut Adjie, demokrasi merupakan isu sensitif bagi
masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal itu menyebabkan gelombang
penolakan atas rencana tersebut lebih banyak terjadi di masyarkat kota besar.
Selain itu, masyarakat kelompok kelas menengah memiliki akses terhadap media
massa yang lebih luas dan variatif.
Adjie mencatat bahwa penolakan terhadap sistem pilkada
oleh DPRD juga terjadi di kalangan kader dan pendukung Koalisi Merah Putih.
Mayoritas dari mereka mendukung agar pilkada langsung tetap dipertahankan.
Dekonsolidasi
demokrasi
Dalam konteks ini, yang dipertontonkan sejumlah elite
di gedung parlemen menunjukkan gerak mundur demokrasi. Dalam ungkapan lain,
perjalanan demokrasi mengalami dekonsolidasi atau penguraian kembali
benang-benang demokrasi yang telah terpintal dengan sedemikian rapi, rancak,
dan apik.
Ironisnya, penguraian kembali benang-benang demokrasi
bukan dilakukan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kekuasaan di
negeri ini, tetapi oleh para elite partai politik sebagai wakil mereka! Sebuah
gambaran sempurna dari pemangkasan hak-hak politik warga untuk menentukan sendiri
pemimpin yang dikehendaki.
Melihat parameter di atas, menjadi tak relevan untuk
mempertanyakan kembali signifikansi pemilihan langsung dalam sistem demokrasi
dengan dalih mahalnya biaya politik dan maraknya politik uang. Bahwa terdapat
banyak kekurangan dalam pemilihan langsung tak berarti mekanisme ini harus
dihapus dan diganti dengan pemilihan tidak langsung oleh parlemen.
Selain argumentasi di atas, ada pula sejumlah
pengusung pemilihan tidak langsung yang mendasarkan argumentasinya pada
pertentangan antara demokrasi liberal Barat (sebagai representasi pemilihan
langsung) dan Pancasila (sebagai representasi sistem perwakilan atau pemilihan
tidak langsung).
Demokrasi dan Pancasila bukanlah konsep yang ekuivalen
untuk diperbandingkan, terlebih diperhadapkan. Keduanya lebih merupakan flesh
and blood dalam sistem kehidupan bernegara dan berbangsa yang saling
melengkapi.
Dalam konteks ini, pemilihan langsung ataupun tidak
langsung jelas tidak ada kaitan dengan Barat atau Timur, liberalisme atau
Pancasila, bertuhan atau tidak bertuhan, dan semacamnya. Memilih langsung
seorang pemimpin—terutama dalam sistem politik presidensialisme—merupakan
bagian dari hak-hak dasar warga (civic rights) yang tidak bisa diwakilkan.
Sejalan dengan itu, pemenuhan negara atas hak-hak sipil warga bukanlah soal pilihan,
melainkan kewajiban negara untuk terus mengawal dan melindungi.
Perlawanan
rakyat semesta
Sampai di sini, rasanya kita sulit menampik kenyataan
bahwa demokrasi kita sedang mengalami titik kritis. Demokrasi kita mengalami
kondisi darurat pertolongan (SOS). Perlu langkah-langkah kolektif dan
sistematis untuk menyelamatkan demokrasi kita dengan cara menghentikan tindakan
anarkistis pihak-pihak tertentu yang coba memangkas dan melucuti hak-hak dasar
warga.
Meskipun demikian, langkah-langkah penyelamatan
mestinya tidak perlu terjadi seandainya tidak ada ”dusta di antara kita”
melalui aksi teatrikal sejumlah elite partai politik di Senayan. Tidak perlu
pula Presiden mengeluarkan jurus ”penyelamatan citra” melalui peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu), seandainya setiap proses demokrasi
tidak mengalami pereduksian dan pendangkalan makna.
Namun, sudahlah. Mari kita apresiasi niat Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perppu. Ibarat pepatah, lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Terpenting lagi, gerakan perlawanan harus
dimulai dari semua elemen masyarakat, seperti kelompok masyarakat sipil (LSM),
tokoh agama, elite politik, akademisi kampus, mahasiswa, dan masyarakat
pinggiran. Artinya, langkah menyelamatkan demokrasi harus dimulai dari setiap
kita yang masih mencintai Indonesia dan demokrasi. Tanpa gerakan perlawanan
rakyat semesta, pengerdilan dan pereduksian atas nama demokrasi akan terus
terjadi di panggung politik kita.
Namun, kita tidak perlu menunggu masa lima tahun lagi
untuk menentukan sikap kita dalam menegakkan hak-hak dasar warga.
Yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan para
petinggi negeri ini bahwa memelihara hak-hak dasar warga itu sama pentingnya
dengan mengatasi sejumlah kekurangan dalam pemilihan langsung, tidak malah
menggantinya dengan sistem dan mekanisme yang mundur ke belakang. Sebagaimana
dikutip di awal tulisan ini, raison d’etre institusi demokrasi adalah untuk
menjamin, menjaga, dan melindungi hak-hak dasar warga dalam menentukan pilihan
politiknya. Kita telanjur berada pada tahap point of no return dalam
berdemokrasi.
D. Tujuan RUU Pilkada
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala
daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang
Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai
politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004,
yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga
diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara
ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi
demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good
governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan
kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program
desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya
sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government) . Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pelaksanaan
Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara
umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat
partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan Pilkada
ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki
beberapa kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1.
Peningkatan
akurasi daftar pemilih.
2.
Peningkatan
akuntabilitas proses pencalonan.
3.
Masa kampanye
yang lebih memadai.
4.
Peningkatan
akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
5.
Peningkatan
penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
6.
Minimalisasi
Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
7.
Putusan-putusan
MK yang membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan
pelaksanaan Pilkada.
8.
Penyesuaian
tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih dengan
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
9.
Minimalisasi
politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam
Pilkada.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11. Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.
12. Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.
Artikel 1
Jelang Pilkada Serentak, KPU Fokus Mutakhirkan Data Pemilih
Liputan6.com, Jakarta - KPU akan membuka pendaftaran bagi
pasangan calon kepala daerah pada 26-28 Juli 2015. KPU pun kini fokus
mengumpulkan dan memverifikasi daftar pemilih tetap (DPT) bagi warga
yang telah memiliki hak pilih.
"Satu tahapan yang harus serius
kita kawal di samping proses pencalonan yakni pemutakhiran data pemilih
yang berkaitan dengan pemilih," kata Komisioner KPU
Ferry Kurnia Rizkiyansyah dalam diskusi 'Daftar Pemilih Pilkada dan
Ancaman Hak Konstitusional' di Gedung Bawaslu, Jakarta, Kamis
(2/7/2015).
Dalam mengumpulkan data tersebut, KPU menggandeng
Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil (Dukcapil). Selain itu, Ferry menjelaskan, KPU juga terbuka untuk
menerima nama-nama bagi calon daftar pemilih dari partai politik.
Hal itu dilakukan, kata Ferry, agar semua data bisa terkumpul untuk diversifikasi dan menghasilkan data yang valid.
"Prinsip
kami daftar pemilih betul-betul mutakhir, akurat dan valid. Tahapan
yang sudah kita lakukan ini masuk pada persiapan. Sehingga daftar
agregat kependudukan (form DAK 2) yang dilakukan 17 April lalu dan
dimasukkan ke DP4 (data penduduk potensial pemilih pemilu) di KPU bisa
kita analisis. Memang ada beberapa poin yang harus kita sinkronisasi
dengan DPT terakhir," papar Ferry.
Ferry menerangkan, jika ada
warga yang memiliki hak pilih namun tak terdaftar di DPT yang akan
ditetapkan Oktober 2015 nanti, maka KPU kabupaten/kota telah
menyiapkan pendaftaran khusus bagi warga tersebut. Sedangkan untuk
daftar pemilih sementara (DPS), akan diumumkan bulan September 2015.
"Apabila
ada yang tidak terdaftar tetap ada ruang, orang tersebut bisa
mengomunikasikan ke KPU kabupaten/kota. Kami kordinasi lebih lanjut
tentang pemutakhiran data pemilih," tandas Ferry.
Artikel 2
Bahas Audit BPK Terhadap KPU, Komisi II: Tak Ada Upaya Tunda Pilkada
Jakarta - Komisi II membahas audit Badan Pemeriksa Keuangan
terhadap KPU atas penggunaan anggaran untuk Pemilu 2014 kemarin.
Pembahasan ini dilakukan jelang Pilkada serentak tahun ini.
Komisi
II diketuai oleh Rambe Kamarulzaman dari Partai Golkar, ada pula Wakil
Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria dari Partai Gerindra yang ikut duduk
di kursi pimpinan sidang, di rapat Komisi II Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, Kamis (2/7/2015) ini.
Meski Ketua Komisi II adalah
politisi Golkar yang memang sedang dilanda polemik internal, namun dia
menyatakan tak bermaksud memperkarakan audit BPK ini agar Pilkada
serentak 2015 diundur pelaksanaannya.
"Jadi kita bukan mau memojokkan siapa-siapa. Tidak ada upaya untuk menunda Pilkada," kata Rambe dalam rapat dengan KPU.
Anggota
Komisi II Bambang Riyanto menyatakan tak ada iktikad komisinya untuk
menghambat proses Pilkada. "Kami tidak ada kehendak menghalangi proses
demokrasi yang akan berlangsung 9 Desember 2015," kata Bambang.
Henry
Yosodiningrat, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP berharap tindak
lanjut audit BPK terhadap KPU ini tidak menghalangi Pilkada serentak.
Dia juga tak ingin ada kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang
seharusnya tak dikenai kriminalisasi.
"Jangan sampai menghambat
pelaksanaan Pilkada, karena kekurangan komisioner, dan sebagainya. Maka
perlu dipertimbangkan, KPU memberikan penjelasan kepada BPK," tutur
Henry.
Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria juga menjelaskan
dorongan Komisi II terhadap tindak lanjut audit BPK ini tak ada
hubungannya dengan Pilkada serentak. Ini semata-mata, menurutnya, agar
penyelenggaraan pengelolaan keuangan Pemilu bisa lebih baik ke depan.
Komisi
II DPR meminta agar oknum penyeleweng dana pemilu itu didorong untuk
diproses oleh aparat penegak hukum. KPU-pun mendukung semangat ini. KPU
yakin apabila benar ada internalnya yang kena proses hukum, itu tak akan
menghambat proses Pilkada serentak 2015.
"Nggak akan mengganggu
Pilkada serentak. Mengganggu kalau ada kriminalisasi. Tapi kan ini
sebenarnya hanya tindaklanjut rutin saja atas audit BPK," kata Sekjen
KPU Arif Rahman Hakim.
Ketua KPU Husni Kamil Manik menyatakan
ketegasan KPU terhadap internalnya yang menyelewengkan anggaran bukanlah
hal baru. Yang terlibat pidana maka harus ditindak secara hukum. Dan
Husni meyakini hal itu tak akan menghambat pelaksanaan Pilkada serentak
di berbagai daerah.
"Kenapa harus menghambat?" ujar Husni.
(dnu/tor)
Analisis
Terlepas dari problem anggaran yang boros melalui pilkada langsung, bukti positif dari pelaksanaan pilkada langsung juga bertebaran. Salah satu yang menonjol adalah munculnya pejabat kepala daerah yang disukai publik karena memberikan alternatif pendekatan solusi masalah bagi masyarakat.Mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yg sekarang menjabat jadi Gubernur Jakarta, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil adalah contoh nyata pemimpin produk pilkada langsung yang disukai masyarakat.
Bahkan, Joko Widodo melesat menjadi pemenang pilpres dalam hitungan dua tahun sejak menjabat wali kota dengan mengandalkan sistem pemilu langsung. Tanpa mekanisme politik pemilu langsung, mustahil calon-calon alternatif yang disukai publik ini bisa terakomodasi ke tampuk kekuasaan tertinggi.
Jika demikian, wakil rakyat kini tinggal memilih memperjuangkan agenda reformasi bangsa atau agenda politik jangka pendek parpol